Monday, December 04, 2006

Blogger Beta Seterusnya?

Sekitar dua minggu lalu saya pernah posting tentang Blogger beta.

Jadi, jika sudah punya account Google (dan kebanyakan dari kita memang sudah punya, Google gitu loh), maka siap2 saja: godaan untuk migrasi ke Blogger beta jadi terasa berat untuk ditepis. Habis, apa susahnya, otentikasi dengan account lama di Blogger tinggal diganti dengan login menggunakan account dan password kita di Google. Lalu upgrade template, inipun beberapa kali klik juga beres.

Tapi, ada beberapa masalah yang saya alami sejak migrasi ke Blogger beta. Pertama integrasi account, sepertinya belum tertata apik. Pasca otentikasi, sepertinya Blogger dianggap termasuk dalam session yang sama dengan layanan Google lainnya yang juga melewati sesi otentikasi. Walhasil, disconnect dari Blogger mengakibatkan tertendangnya juga kita dari layanan mail.google maupun sesi chat di google talk.

Problem lainnya adalah import tulisan. Dulu saya lancar2 saja meng-import posting2 saya di Blogger ke blog2 saya di iffata.info. Sejak migrasi ke Blogger beta, import blog content itu belum pernah berhasil lagi. Otentikasi baik dengan account Google maupun account classic, sama2 failed.

Ada yang bisa kasih tips dan trick untuk kedua hal ini? Belum punya waktu yang cukup lega nih untuk eksplorasi. Masih perlu fokus mengutak-atik Smarty. Oya, asyik loh, coba deh.

Release Your Brake

Rasa senang dan bangga atas keberhasilan seorang kerabat atau sahabat, kadang begitu sulit untuk diungkap. Begitupun empati atas duka dan kecewa yang mereka rasa. Setidaknya, itu yang terjadi padaku. Aku sering kesulitan mengungkapkan apa yang sungguh2 kurasa. Dan ntah kenapa, semakin peduli pada seseorang, justru semakin berat lidah ini mewakilkan rasa lewat kata. Semacam ada ketakutan, bahwa maknanya bisa memudar dan berganti rupa di setiap partikel udara yang dilewatinya. Lebih sering kupilih mengupayakan saja bisa ada di sisi mereka, atau menitipkan rasa2 itu lewat do'a.

Tapi, sempat juga aku terheran-heran.
Di beberapa kondisi, dengan asupan keberanian yang datang ntah dari mana, aku berhasil juga menendang jauh2 ketakutanku itu. Seperti barusan. Tiba2 saja disapa oleh Maman, akhirnya kutunjukkan juga padanya link tulisanku kemaren, tentang dia. And ... well, I'm truly glad that I did it :)

Di lingkungan keluargaku, mengungkap rasa bukan hal yang biasa.

Waktu SMU, aku pernah berlatih keras agar bisa menyatakan sayang dan rinduku pada ibu dan adik2 lewat jatah menelpon di hari Minggu. Aku mulai belajar dengan menuliskannya di kertas. Dedi, yang ngintip tulisan itu dari balik punggungku, sempat terheran2 dan menanyakannya. Aku ingat, pada percobaan pertama, aku menyatakannya sambil gemetar, jantungku berdegup kencang. Waktu itu, ibu dan adik2ku hanya tertawa2 saja, kikuk. Sekarang, mereka sudah terbiasa, bahkan mulai membalasnya.

Merasa cukup berhasil, aku lalu nekat mencoba pada ayahku. Reaksi beliau, baik waktu yang pertama itu sampai dengan yang terakhir kemaren, masih sama: diam sebentar, lalu mengalihkan pembicaraan. Papa gw banget lah pokoknya :)

Urusan mengungkap rasa, bagiku bisa sama pelik dengan memendamnya. Namun, yang sungguh ingin bisa kulakukan adalah menyatakan itu semua, tanpa menyelipkan tuntutan bagaimana mereka harus meresponnya. Just to let it go. Itu asli tak mudah.

Dulu pernah kutuliskan di 360. Dan kini akan kutuliskan lagi di sini:

Melepaskan tak pernah mudah,
menahan pun, bisa jadi, sama sulitnya.
Namun bukankah ...
kekuatan hati tak diukur dari seberapa teguh aku menahan,
melainkan dari seberapa ikhlas aku melepaskan.

Saturday, December 02, 2006

Man, You Make It!

Aku tak pernah ragu dia akan mampu melakukannya, melompati prestise semu titel dan arogansi ke-ITB-an yang belum tentu dapat direalisasikan oleh para penyandangnya. Aku senang aku tak pernah berhenti percaya bahwa dia akan bisa. Dan kini, temanku itu telah membuktikannya.


ITB bukanlah segala-galanya ...

Tetap sajalah exist dan berikan bukti nyata.
Tentukan sendiri apa "segala-galanya" itu.
Dan jangan jadi bayang-bayang dari siapapun, apapun.
Terima kasih, teman. Lewat kamu, akhirnya aku melihat bukti kalimat Bapak padaku waktu itu.

Go on, my friend, release your brake. The glass wall is already broken through. Dan kuharap, akupun segera mampu lakukan itu.